Rabu, 01 Februari 2012

Penerimaan Yang Tak Bersyarat


Seorang ibu yang mempunyai tiga orang anak, masing-masing berusia 14, 12, dan 3 tahun baru saja menyelesaikan kuliahnya. Kelas terakhirnya yang harus diambil adalah mata kuliah Sosiologi. Tugas terakhir yang diberikan Sang Dosen diberi tema "Tersenyum". Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan tersenyum kepada tiga orang dan mendokumentasikan reaksi mereka.

Ibu dari tiga anak tersebut adalah seorang yang mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang yang dijumpainya sambil menyapa "halo", jadi, tugas tersebut sangatlah mudah baginya.

Suatu pagi di bulan Maret yang sangat dingin dan kering, ia bersama-sama dengan suami dan anak bungsunya pergi ke Restoran Mc. Donald's.

Sebagaimana layaknya pelayanan di restoran cepat saji ini adalah mengantri, menunggu untuk dilayani. Sesuatu terjadi dalam antrian keluarga ini, mendadak setiap orang di sekitar antrian tersebut mulai menyingkir, bahkan suaminya pun ikut menyingkir. Si Ibu ini tidak bergerak sama sekali... suatu perasaan panik menguasai dirinya ketika ia membalikkan badannya untuk melihat mengapa mereka semua menyingkir. Ketika membalikkan badannya itulah hidungnya menangkap bau, aroma "bau badan kotor" yang sangat menyengat, dan aroma itu berasal dari dua orang lelaki tunawisma yang berdiri dibelakangnya. Ketika ia melihat lelaki yang lebih pendek, yang dekat dengannya, lelaki itu "tersenyum". Matanya yang berwarna biru langit bercahaya menyiratkan permohonannya agar kehadirannya bisa diterima, lalu lekaki itu berkata "Selamat Siang" sambil menghitung beberapa koin yang telah dikumpulkannya. Lelaki yang kedua memainkan tangannya dengan gerakan aneh sambil berdiri di belakang temannya. Ibu itu menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita keterbelakangan mental dan lelaki dengan mata biru itu adalah penolongnya. Ibu dari tiga orang anak itu menahan haru ketika berdiri di sana bersama mereka.

Wanita muda petugas layanan restoran tersebut menanyai lelaki itu, apa yang mereka inginkan. Ia berkata, "Kopi saja, Nona", karena hanya itulah yang mampu mereka beli.  Sebab, jika mereka ingin duduk di dalam restoran untuk menghangatkan tubuh mereka, mereka harus membeli sesuatu. Mereka hanya ingin menghangatkan badan. Kemudian Si Ibu itu benar-benar merasakan keharuan yang luar biasa, desakan itu sedemikian kuat sehingga Si Ibu hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Hal itu terjadi bersamaan dengan ketika Si Ibu menyadari bahwa semua mata di restoran menatapnya, mengamati dan menilai semua tindakannya. Lalu, Si Ibu itu tersenyum dan berkata pada wanita petugas layanan restoran tersebut untuk memberikan kepadanya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah. Kemudian Si Ibu itu berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih oleh kedua lelaki itu sebagai tempat istirahatnya. Ia  meletakkan nampan itu ke atas meja dan meletakkan tangannya di atas tangan dingin lelaki bemata biru itu. Lelaki itu melihat ke arah Si Ibu, dengan air mata berlinang, dan berkata "Terima kasih". Si Ibu kemudian meluruskan badannya dan mulai menepuk tangan lelaki itu dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk memberimu harapan."

Si Ibu mulai menitikkan airmatanya ketika ia berjalan meninggalkan kedua lelaki itu dan bergabung dengan suami dan anaknya. Ketika ia duduk, suaminya tersenyum kepadanya dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang.  Untuk memberiku harapan." Mereka saling berpegangan tangan beberapa saat dan pada saat itu mereka tahu bahwa hanya karena Rahmat Tuhan mereka diberikan apa yang dapat mereka berikan untuk orang lain. Hari itu menunjukkan kepadanya cahaya kasih Tuhan yang murni dan indah.

Pada hari terakhir kuliahnya, Si Ibu dari tiga orang anak tersebut menyerahkan "tugas" nya dan dosennya membacanya. Kemudian ia melihat kepadanya dan berkata, "Ijinkan  saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" Ia mengangguk pelahan dan dosen  kemudian meminta perhatian dari kelas. Ia mulai membaca dan saat itu Si Ibu tahu bahwa ia, sebagai manusia dan bagian dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk disembuhkan.  Dengan caraNya sendiri, Tuhan memakai Si Ibu itu untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suaminya, anaknya, gurunya, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas di malam terakhirnya sebagai mahasiswi. Ia lulus dengan satu pelajaran terbesar yang pernah ia pelajari: Penerimaan yang tak bersyarat, senyum!

Tidak ada komentar: