Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Juli 2009

Di zamannya, penyair kondang William Shakespeare pernah berbicara tentang kemiskinan dan keadilan dalam karya dramanya yang berjudul King Lear.

Lear adalah seorang raja di zaman Inggris kuno yang memiliki tiga anak perempuan. Putri pertama bernama Goneril, putri kedua bernama Regan, dan putri bungsunya bernama Cordelia. Karena usianya, Raja Lear memutuskan untuk turun tahta, ketika usianya sudah mencapai lebih dari 80 tahun, dan membagikan daerah kekuasaanya pada tiga orang putrinya.


Untuk membagikan wilayah kekuasaannya kepada para putrinya, Lear mensyaratkan tentang seberapa besar cinta ketiga putrinya pada sang raja. Lalu, Lear mengumpulkan mereka dan meminta mereka untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada sang ayah. Goneril dan Regan, dengan kata-katanya yang bersayap dan sangat indah, keduanya berhasil meyakinkan sang Raja, bahwa mereka amat mencintai dirinya. Berbeda dengan putri ketiganya, Cordelia tidak mau melakukan hal tersebut. Cordelia akhirnya tidak mendapat secuil pun wilayah kekuasaan dan bahkan dibuang ke Prancis.


Dalam kisah diceritakan bahwa kedua putrinya mengkhianitinya. Dan raja pun jadi sinting. Lear pun pergi meninggalkan istananya tanpa membawa satu pun barang berharga, hidup menggelandang, menadah topan dan hujan. Hidup yang tak berbelas itu membuatnya teringat kepada mereka yang bugil dan nestapa, yang menantang beringasnya badai, yang tak memiliki tempat untuk meletakkan kepalanya, dan perut yang sering tak disambangi roti. Lalu ia pun berseru, agar yang berkelimpahan diguncang, hingga sedikit kelimpahannya tertadah oleh mereka yang miskin, untuk menunjukkan bahwa langit adalah adil.


Di zaman kita sekarang pun, kisah Inggris kuno masih tetap saja berulang. Banyak yang menganggap dirinya raja, tapi tak pernah tahu, dan pura-pura tidak tahu adanya penderitaan, adanya penindasan, dan adanya nestapa-nestapa yang lain. Mereka tidak peduli. Mereka hanya peduli kepada komunitas akar rumput, ketika tenggat waktu yang membatasi kekuasaannya mengancam dirinya. Itu pun hanyalah angin sorga yang dinyanyikan, yang membawa hambanya terperangkap kembali dalam penderitaan-penderitaan baru.


Hampir semua pesta selalu saja menyisakan kisah. Hari ini, puncak pesta rakyat digelar; kita akan memilih penguasa baru, dan kepadanyalah rakyat bakal menguasakan nasib seluruh sendi-sendi kehidupannya.


Dalam alam demokrasi, rakyatlah sejatinya sang raja itu. Maka, janganlah sampai sebagai raja, rakyat hanya terpukau oleh keindahan retorika, dan kemerduan kata-kata yang bersayap semata para calon penguasa. Sebab, sebagai raja, rakyat tidak hanya sekedar akan kehilangan tahta, tapi akan kehilangan hak untuk hidup sejahtera dan berkeadilan.Pengalaman hidup menggelandang Raja Lear, membukakan mata hatinya pada kemiskinan dan keadilan yang diderita para hambanya. Sehingga ia harus berseru, agar kelimpahan orang kaya diguncangkan supaya bisa dibagikan kepada hambanya yang kekurangan dan menderita. Negara harus bisa menghidupi rakyatnya dengan sejahtera dan adil.


Dalam drama King Lear, adegan di mana Edgar, Lear, dan Kent yang bersama-sama mencari tempat yang aman untuk berlindung dari badai merupakan salah satu adegan yang paling “mengguncangkan” dalam drama Shakespeare. Akankah terjadi demikian adegan dalam drama hidup berbangsa dan bernegara kita untuk lima tahun ke depan? Semoga tidak!


Semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua, yang selalu memohon petunjuk dan perlindungan-Nya!

Jumat, 22 Mei 2009

SANG IDOLA

Ketika aku masih SMP, di tahun 1978 ada sosok yang sangat mempesona dunia, setidaknya bagi diriku. Tugas stricker dalam permainan sepakbola adalah memasukkan bola ke gawang lawan. Tugas yang tidak mudah untuk dilakukan. Kepiawaian idolaku dalam menggiring bola dengan cepat sembari meliuk-liukkan badannya menghindari sergapan lawan dengan ketenangan bak biarawan dari Tibet menjadi atraksi yang sangat memukauku. Maka, pasti tidak perlu diragukan lagi bila kakinya seringkali menjadi sasaran incaran tebasan pemain belakang lawan.
Ia begitu mempesonaku bukan hanya kepiawaiannya mengolah bola dan menceploskannya ke gawang lawan saja, tapi aksinya ketika ditebas lawan dan terjatuh itulah menjadi moment yang sangat membiusku. Aku tak pernah melihatnya marah seperti kebanyakan pemain bola lainnya yang kerap meminta sang juru adil untuk mengganjar lawan mainnya yang telah mencuranginya dengan kartu kuning atau kartu merah. Idolaku sangat tenang, paling-paling ekspresinya hanya mengangkat bahu dan tangannya sambil dihiasi segaris senyum dibibirnya. Ekspresi yang meneduhkan dalam sebuah pertandingan yang ketat adalah langka dan sangat luar biasa menurutku. Ia mengajarkanku tentang arti sebuah “sikap”. Ia adalah Mario Kempes – sang superstar bola dari Argentina.
Tidak mudah bagi kita untuk tetap bisa tersenyum ketika kita jatuh, apalagi dijatuhkan. Mario Kempes memilih sikap positif; ia pasti tahu betul bahwa bermain bola ada resiko untuk dijatuhkan lawan. Namun, ia melawannya dengan keteduhan, kesabaran, ketenangan dan yang khas adalah senyumnya yang menyejukkan.
Seringkali kita bersungut-sungut bahkan meledakkan amarah ketika kita terjatuh atau dijatuhkan oleh orang lain. Semakin kita hanyut dalam sikap negatif ini; kita akan kehilangan keseimbangan dan kehilangan energi untuk bisa bangkit dan berlari lagi mengejar bola sukses kita.
Kita bisa memilih sikap yang akan kita bawa dalam perjalanan hidup kita. Sikap menjadi hal penting dalam hidup kita. Sebab diperlukan untuk melihat kedalaman diri kita sendiri; nilai apa yang ada didalam sikap dan perbuatan kita dalam sebuah pertandingan. Setiap pertandingan pasti selalu memisahkan kelompok atau kubu-kubu. Namun, memisahkan bukan berarti saling meniadakan, justru saling mempersatukan agar bisa bermain bersama lagi. Alangkah indahnya sebuah pertandingan, jika kita mengerti dan memahami maknanya untuk dilaksanakan. Bukan sekedar retorika belaka.
Sebentar lagi pertandingan kolosal –Pilpres- di negeri kita tercinta akan segera digelar. Calon Presiden dan Wakilnya sudah muncul sebagai para pihak yang akan maju dalam pertandingan. Mereka diusung oleh kekuatan-kekuatan –nampaknya-- hebat negeri ini. Apakah sejatinya benar-benar hebat untuk rakyat?

Ibarat penonton sepakbola, rakyat paling tahu kemana seharusnya bola ditendang untuk memuaskan dahaga emosionalnya. Rakyat paling merasakan kegetiran, bila tidak tercipta goal. Betapa tidak? Coba bayangkan! Berapa banyak rakyat sudah berkorban demi janji ‘sang idola’ yang tak kunjung mampu menciptakan goal? Sang idola hanya mampu membuat ‘peluang-peluang’ melulu. Fenomena ini pasti sangat menyesakkan dada, bukan? Belum lagi bila tingkah polahnya dalam bermain yang tidak bisa menghormati pemain lawan; menghalalkan segala cara dalam bertindak untuk sebuah ‘kemenangan’ semu, demi pembenaran diri sang idola semata. Pastilah tindakan tersebut akan menghasut penonton yang akan membuat mereka bertindak anarkis.

Wahai penonton, mari kita siapkan dan jaga diri kita untuk pertandingan akbar di negeri ini. Janganlah mudah terjerat keindahan fisik semata, tapi pilihlah pemain yang seperti Mario Kempes, idolaku. Yang bermain sangat elegant demi ‘fair play’ yang sesungguhnya. Sekali pun tak tercipta goal, jiwa kita akan sedikit terpuaskan oleh permainan yang cantik, bersih dan menghibur. Sejauh bola masih bundar, kita masih akan bisa menikmati permainan berikutnya dengan semangat dan harapan baru.

Semoga dalam pertandingan yang akan kita ikuti nanti akan tercipta goal yang sangat indah, yang akan membawa kita semua menjadi ‘masyarakat sejahtera.’

Semoga Tuhan berkenan!

Jumat, 07 November 2008

BERHARAP KEPADA DEMOKRASI

Hampir dapat dipastikan perhatian seluruh dunia akhir-akhir ini tersedot ke Amerika, karena ada pesta demokrasi terbesar di dunia, yakni Pemilihan Presiden. Fenomena ini sangat menarik, sebab siapa pun yang terpilih sebagai presidennya, bakal dikultuskan sebagai presiden bagi seluruh dunia. Mengapa demikian? Karena kebijakannya akan sangat mempengaruhi dinamika politik dan ekonomi dunia.

Perebutan presiden Amerika kali ini begitu fenomenal, mengingat Amerika sedang dilanda krisis keuangan yang sangat besar yang gelombangnya mengimbas pada negara-negara lain. Rakyat Amerika menginginkan segera terjadi perubahan, agar mereka cepat keluar dari krisis finansial tersebut. Demikian juga negara-negara lain yang menjalin relasi bisnis dengan negara adidaya tersebut, sangat berharap terjadinya perubahan itu segera supaya penderitaan ekonomi global tidak berlangsung lama.

Sehari sebelum pemungutan suara di Amerika Serikat, di Jawa Timur tanggal 4 Nopember 2008 dilaksanakan pesta PILKADA putaran kedua untuk memilih Gubernur baru. Yang menarik bagi saya bukanlah siapa yang menang dan berhak memimpin, tapi seberapa besar yang tidak memanfaatkan hak Pilihnya. Dan, hasil penghitungan cepat (quick count) warga yang tidak menggunakan Hak Pilihnya alias GOLPUT versi Lingkaran Survei Indonesia adalah 46%, sedangkan versi Lembaga Survei Indonesia mencatat sebesar 45,56%. Sedangkan di Amerika, warga yang tidak menggunakan Hak Pilihnya hanya mencapai 10%.

Jika rakyat Amerika sangat antusias memanfaatkan kesempatan memilih pemimpinnya, tapi mengapa PILGUB di Jawa Timur terjadi sebaliknya? Mengapa terjadi perbedaan yang sedemikian jauh?

Beberapa perusahaan di Jawa Timur sengaja meliburkan karyawannya untuk memberikan kesempatan kepada mereka dalam menyalurkan aspirasinya untuk memilih Gubernur yang baru. Namun, kenyataan di lapangan adalah kebanyakan dari mereka tidak memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menggunakan Hak Pilihnya. Sebagai buruh urban, mereka tidak punya anggaran belanja untuk ongkos pulang ke daerah, apalagi mereka kehilangan uang makan karena perusahaan diliburkan. Mereka memilih untuk tetap tinggal di kota adalah pilihan yang realistis. Kisah diatas adalah satu diantara sekian banyak fenomena yang terjadi di masyarakat kita.

Jika setiap orang mengharapkan terjadinya perubahan untuk kesejahteraan hidupnya, bukankah memilih pemimpin baru adalah sebuah cara mewujudkan harapan?

Harapan adalah impian tentang masa depan, yang selalu dinyanyikan dalam kampaye. Tapi, untuk siapakah sebenarnya lagu tersebut dinyanyikan? Apakah benar untuk rakyat?