Jumat, 17 Februari 2012

SENYUM DALAM PERSEPSI BUDAYA


Senyum “ha-ha he-he” yang keluar dari bibir secara sembarangan nampaknya sudah sangat menyatu dalam pribadi hampir semua orang Indonesia, terutama anak-anak.

Senyum “ha-ha he-he” ini bisa meluncur begitu saja pada orang dewasa disaat mengalami “ketegangan”, misalnya dimarahi majikannya karena melakukan kesalahan kerja, bahkan profesional seperti reporter televisi pun yang sedang meliput bencana alam seringkali (mungkin tanpa sadar) masih terlihat melakukan senyum jenis ini.

Senyum “ha-ha he-he” pada siswa Sekolah Dasar terjadi ketika mereka ditegur oleh Gurunya karena datang terlambat hadir di sekolah, karena kedapatan tidak mengerjakan PR, atau karena mereka tidak mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan kepadanya.

Apabila kita mengambil contoh-contoh di atas, senyum “ha-ha he-he” bukan mengekspresikan bentuk rasa bahagia, gembira atau sedang menertawakan seseorang, namun senyum jenis ini lebih merupakan cermin kekhasan suatu budaya yang muncul sangat alami dan tanpa disadari.
Perbedaan kultur sangat berpotensi menyebabkan bentrokan budaya dalam kepribadian, cara berperilaku, cara bersikap, cara menyelesaikan masalah, bahkan gaya kepemimpinan. Dalam komunikasi antar budaya, seseorang seringkali tidak menyadari asumsi-asumsi budaya yang diyakini relasi/lawan bicaranya. Umumnya cenderung berperilaku dengan berpijak pada asumsi-asumsi budayanya sendiri. Dalam kondisi seperti itu, seseorang cenderung mentransfer asumsi-asumsi budaya sendiri ke dalam konteks antar budaya.
Kisah berikut adalah contoh lain gagalnya komunikasi antar budaya, yang terjadi pada sebuah perusahaan asing Amerika yang menanamkan modalnya di Indonesia, dengan karyawan campuran dari dua bangsa.
Seorang pimpinan perusahaan asing berkebangsaan Amerika bermaksud menjenguk seorang supervisornya - orang Indonesia, yang sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit karena kecelakaan kerja. Sang pimpinan menghubunginya terlebih dahulu melalui telepon genggamnya memberitahukan tentang rencananya tersebut, namun sang supervisor itu dengan penuh hormat dan rasa bangga menjawabnya, "It's not necessary to see me as it would take your precious time. I am just OK."
Mendengar rencana kunjungan pimpinannya tersebut, senyumnya merekah dan hati sang supervisor sangatlah berbunga-bunga, merasa tersanjung karena akan dikunjungi pimpinannya yang orang bule. Namun, diluar dugaannya, pimpinan yang sangat dihormatinya itu hingga jam besuk berakhir bahkan sampai malam pun ternyata tak kunjung datang. Yang terjadi didalam pikirannya adalah sang pimpinan tidak menepati atau telah mengingkari janji. Sementara itu, sang pimpinan berpikir bahwa supervisor itu menolak dikunjungi.
Ternyata niat bersopan santun dan rasa hormat sang supervisor yang orang Indonesia itu diartikan lain oleh sang pimpinan bule tersebut sebagai sebuah penolakan halus untuk dikunjungi. Siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa ini? Satu yang pasti, bahwa keduanya menggunakan alat ukur dan asumsi budaya masing-masing.
Kasus diatas mempunyai kemiripan dengan kisah “The Smiling General’ dalam perspektif  antar budaya lokal, sedangkan kisah “Senyum Maut”nya Amrozi masuk dalam lingkaran lintas budaya antar negara.
Jadi, sangatlah penting bagi kita untuk belajar budaya orang lain, agar dalam berkomunikasi kita bisa dihindarkan dari asumsi-asumsi yang keliru dikarenakan pemahaman yang dangkal.
“Cara yang paling sederhana untuk menjadi cantik adalah dengan  tersenyum.”

Tidak ada komentar: