Senyum “ha-ha
he-he” yang keluar dari bibir secara sembarangan nampaknya sudah sangat
menyatu dalam pribadi hampir semua orang Indonesia, terutama anak-anak.
Senyum “ha-ha
he-he” ini bisa meluncur begitu saja pada orang dewasa disaat mengalami “ketegangan”,
misalnya dimarahi majikannya karena melakukan kesalahan kerja, bahkan profesional
seperti reporter televisi pun yang sedang meliput bencana alam seringkali (mungkin
tanpa sadar) masih terlihat melakukan senyum jenis ini.
Senyum “ha-ha
he-he” pada siswa Sekolah Dasar terjadi ketika mereka ditegur oleh Gurunya
karena datang terlambat hadir di sekolah, karena kedapatan tidak mengerjakan
PR, atau karena mereka tidak mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan
kepadanya.
Apabila kita mengambil contoh-contoh di atas, senyum “ha-ha he-he” bukan mengekspresikan bentuk
rasa bahagia, gembira atau sedang menertawakan seseorang, namun senyum jenis
ini lebih merupakan cermin kekhasan suatu budaya yang muncul sangat
alami dan tanpa disadari.
Perbedaan kultur sangat berpotensi menyebabkan bentrokan budaya dalam
kepribadian, cara berperilaku, cara bersikap, cara menyelesaikan masalah, bahkan
gaya kepemimpinan. Dalam komunikasi antar budaya, seseorang seringkali tidak
menyadari asumsi-asumsi budaya yang diyakini relasi/lawan bicaranya. Umumnya cenderung
berperilaku dengan berpijak pada asumsi-asumsi budayanya sendiri. Dalam kondisi
seperti itu, seseorang cenderung mentransfer asumsi-asumsi budaya sendiri ke
dalam konteks antar budaya.
Kisah berikut adalah contoh lain gagalnya komunikasi antar budaya, yang
terjadi pada sebuah perusahaan asing Amerika yang menanamkan modalnya di
Indonesia, dengan karyawan campuran dari dua bangsa.
Seorang pimpinan perusahaan
asing berkebangsaan Amerika bermaksud menjenguk seorang supervisornya - orang Indonesia,
yang sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit karena kecelakaan kerja. Sang pimpinan
menghubunginya terlebih dahulu melalui telepon genggamnya memberitahukan tentang
rencananya tersebut, namun sang supervisor itu dengan penuh hormat dan rasa
bangga menjawabnya, "It's not
necessary to see me as it would take your precious time. I am just OK."
Mendengar rencana kunjungan
pimpinannya tersebut, senyumnya merekah dan hati sang supervisor sangatlah berbunga-bunga,
merasa tersanjung karena akan dikunjungi pimpinannya yang orang bule. Namun, diluar
dugaannya, pimpinan yang sangat dihormatinya itu hingga jam besuk berakhir
bahkan sampai malam pun ternyata tak kunjung datang. Yang terjadi didalam
pikirannya adalah sang pimpinan tidak menepati atau telah mengingkari janji. Sementara
itu, sang pimpinan berpikir bahwa supervisor itu menolak dikunjungi.
Ternyata niat bersopan santun dan rasa hormat sang supervisor yang orang
Indonesia itu diartikan lain oleh sang pimpinan bule tersebut sebagai sebuah penolakan halus untuk dikunjungi.
Siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa ini? Satu yang pasti,
bahwa keduanya menggunakan alat ukur dan asumsi budaya masing-masing.
Kasus diatas mempunyai kemiripan dengan kisah “The Smiling General’ dalam perspektif antar budaya lokal, sedangkan kisah “Senyum Maut”nya Amrozi masuk dalam
lingkaran lintas budaya antar negara.
Jadi, sangatlah penting bagi kita untuk belajar budaya orang lain, agar
dalam berkomunikasi kita bisa dihindarkan dari asumsi-asumsi yang keliru
dikarenakan pemahaman yang dangkal.
“Cara yang paling sederhana untuk menjadi cantik adalah dengan tersenyum.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar