H.M. Soeharto, mantan Presiden kedua Republik Indonesia,
dikenal sebagai “The Smiling General”, sebuah julukan yang dipopulerkan oleh O.G. Roeder,
penulis asal Jerman dalam sebuah buku biografi dengan judul yang sama.
Senyumnya yang khas selalu menghias dalam setiap penampilannya, tidak peduli
dengan cuaca yang sedang terjadi.
“YA” TAPI “TIDAK”
Suatu kali pernah terjadi Sang Menteri Muda salah
menangkap pengertian tentang respon beliau perihal Nawaksara -- peristiwa yang
menghantarkan kejatuhan Presiden Soekarno dan pindahnya kekuasaan ke tangan
Letnan Jenderal Soeharto --, dan nyamuk pers mengangkatnya menjadi sebuah topik
bahasan yang menarik di masyarakat saat itu. Sang Menteri Muda, barangkali
heran, atau malahan bingung dibuatnya, karena ketika menghadap beliau, Sang
Menteri yakin bahwa beliau setuju diadakan seminar nasional mengenai Nawaksara.
Akan tetapi, mengapa mendadak muncul pemberitaan bahwa beliau
belum tentu menyetujuinya?
Adalah seorang menteri senior, merasa terpanggil untuk
melakukan penyelidikan secara khusus untuk mengetahui secara langsung,
bagaimana situasi sebenarnya ketika Sang Menteri Muda tersebut berdialog dengan
Presidennya.
"Bagaimana
ekspresi beliau, ketika menyatakan “YA” kepada Anda?", tanya Sang
Menteri Senior. Sang Menteri Senior tersebut bukanlah orang Jawa, dan ia juga
tak bisa berbahasa Jawa, namun ia sangat
paham akan gerak-gerik Sang Presiden, lantaran hubungan relasi yang sangat
lama.
"Ekspresi
itulah yang lebih penting harus dipahami," kata Sang Menteri Senior menjelaskan.
Sang Menteri Senior sangat yakin, bahwa kata “YA” yang beliau ucapkan sebenarnya berarti “tidak”. Selain senyum,
Sang Presiden juga seringkali mengangguk-angguk kepalanya, sehingga bahasa
tubuhnya sering ditafsirkan oleh lawan bicaranya sebagai respon positif atau
setuju.
MANTRA SENYUM
Pada kisah lain diceritakan, bahwa Sang Presiden pernah
menerima rombongan mahasiswa dari Bandung. Tujuan kunjungan tersebut adalah
menyampaikan kritik dan tuntutan tentang arah pembangunan yang dinilai mereka
kelihatan menyimpang. Mereka berganti-gantian bicara menyampaikan aspirasi dan
gagasan ideal menurut pemahaman mereka. Bagaimana Sang Presiden menanggapi rentetan
peluru yang ditembakkan para mahasiswa kepadanya? Beliau hanya
mengangguk-anggukan kepala sembari melepas senyumnya dengan sejuta makna.
Sesungguhnya, dialog tersebut nyaris tidak terjadi, yang
terjadi hanyalah monolog, seperti yang sering dilakonkan oleh Butet
Kertarajasa. Dan bagaimana akhir kisah ini ? Setelah seluruh amunisi aspirasi
mereka didengar, konon, Sang Presiden cuma mengucapkan satu kata, "Sudah?" sembari tersenyum.
Entah mantra apa yang menyertai satu kata itu, sehingga mampu membius para
mahasiswa, mereka pun mengangguk, lalu bergerak pulang dengan tertibnya.
Senyum mungkin diplomasi standar pada tingkat
internasional, dan paling efektif untuk membangun pengertian bersama. Kata,
atau kalimat, bisa disalahartikan. Tetapi senyum (bisa) tidak.
Senyum “The Smiling General” nampaknya secara lahiriah,
segala sesuatunya berarti “YA” atau “Setuju”, namun tidaklah demikian dengan
makna sesungguhnya. Bila dalam segala cuaca seseorang bisa tersenyum, maka
senyumnya pasti sulit ditebak apa kandungan maknanya, sesulit menebak senyuman
Monalisa – lukisan Leonardo Da Vinci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar