Kamis, 02 Februari 2012

MEMBINGUNGKAN


H.M. Soeharto, mantan Presiden kedua Republik Indonesia, dikenal sebagai “The Smiling General”, sebuah julukan yang dipopulerkan oleh O.G. Roeder, penulis asal Jerman dalam sebuah buku biografi dengan judul yang sama. Senyumnya yang khas selalu menghias dalam setiap penampilannya, tidak peduli dengan cuaca yang sedang terjadi.

“YA” TAPI “TIDAK”
Suatu kali pernah terjadi Sang Menteri Muda salah menangkap pengertian tentang respon beliau perihal Nawaksara -- peristiwa yang menghantarkan kejatuhan Presiden Soekarno dan pindahnya kekuasaan ke tangan Letnan Jenderal Soeharto --, dan nyamuk pers mengangkatnya menjadi sebuah topik bahasan yang menarik di masyarakat saat itu. Sang Menteri Muda, barangkali heran, atau malahan bingung dibuatnya, karena ketika menghadap beliau, Sang Menteri yakin bahwa beliau setuju diadakan seminar nasional mengenai Nawaksara.

Akan tetapi, mengapa mendadak muncul pemberitaan bahwa beliau belum tentu menyetujuinya?

Adalah seorang menteri senior, merasa terpanggil untuk melakukan penyelidikan secara khusus untuk mengetahui secara langsung, bagaimana situasi sebenarnya ketika Sang Menteri Muda tersebut berdialog dengan Presidennya.

"Bagaimana ekspresi beliau, ketika menyatakan “YA” kepada Anda?", tanya Sang Menteri Senior. Sang Menteri Senior tersebut bukanlah orang Jawa, dan ia juga tak bisa berbahasa Jawa, namun ia  sangat paham akan gerak-gerik Sang Presiden, lantaran hubungan relasi yang sangat lama.

"Ekspresi itulah yang lebih penting harus dipahami," kata Sang Menteri Senior menjelaskan. Sang Menteri Senior sangat yakin, bahwa kata “YA” yang beliau ucapkan sebenarnya berarti “tidak”. Selain senyum, Sang Presiden juga seringkali mengangguk-angguk kepalanya, sehingga bahasa tubuhnya sering ditafsirkan oleh lawan bicaranya sebagai respon positif atau setuju.

MANTRA SENYUM
Pada kisah lain diceritakan, bahwa Sang Presiden pernah menerima rombongan mahasiswa dari Bandung. Tujuan kunjungan tersebut adalah menyampaikan kritik dan tuntutan tentang arah pembangunan yang dinilai mereka kelihatan menyimpang. Mereka berganti-gantian bicara menyampaikan aspirasi dan gagasan ideal menurut pemahaman mereka. Bagaimana Sang Presiden menanggapi rentetan peluru yang ditembakkan para mahasiswa kepadanya? Beliau hanya mengangguk-anggukan kepala sembari melepas senyumnya dengan sejuta makna.

Sesungguhnya, dialog tersebut nyaris tidak terjadi, yang terjadi hanyalah monolog, seperti yang sering dilakonkan oleh Butet Kertarajasa. Dan bagaimana akhir kisah ini ? Setelah seluruh amunisi aspirasi mereka didengar, konon, Sang Presiden cuma mengucapkan satu kata, "Sudah?" sembari tersenyum. Entah mantra apa yang menyertai satu kata itu, sehingga mampu membius para mahasiswa, mereka pun mengangguk, lalu bergerak pulang dengan tertibnya.

Senyum mungkin diplomasi standar pada tingkat internasional, dan paling efektif untuk membangun pengertian bersama. Kata, atau kalimat, bisa disalahartikan. Tetapi senyum (bisa) tidak.

Senyum “The Smiling General” nampaknya secara lahiriah, segala sesuatunya berarti “YA” atau “Setuju”, namun tidaklah demikian dengan makna sesungguhnya. Bila dalam segala cuaca seseorang bisa tersenyum, maka senyumnya pasti sulit ditebak apa kandungan maknanya, sesulit menebak senyuman Monalisa – lukisan Leonardo Da Vinci.

Barangkali, senyum ini adalah simbol paling membingungkan bagi orang yang tak begitu memahami akan sikap dan perilaku seseorang.

Tidak ada komentar: