Sabtu, 25 Oktober 2008

NEGARA BANGKRUT

Jika Anda mendengar ada Bank bangkrut --sekali pun Bank tersebut kategori besar dan terkenal—sepertinya bukanlah hal yang aneh terdengar ditelinga Anda, akibat imbas terjadinya krisis keuangan global. Tapi, bila Anda mendengar bahwa sebuah negara bangkrut, berita tersebut dapat dipastikan akan mengejutkan banyak orang.

Negara Ukraina, Islandia dan Argentina terjerumus dalam kondisi pailit.Dampak krisis keuangan di Amerika Serikat menyeret banyak negara di dunia ini kelabakan karena beban hutang yang terlalu banyak. Negara sama halnya sebuah perusahaan; cuma bedanya, kalau perusahaan bangkrut disebut pailit, sedangkan Negara yang mengalami kebangkrutan tidak lazim disebut pailit melainkan tidak mampu lagi membayar hutang.

Pembayaran hutang suatu Negara akan dilanjutkan dikemudian hari, apabila ekonomi negara tersebut pulih yang ditandai dengan kembalinya Negara yang bersangkutan ke pasar modal internasional. Kehadiran sebuah Negara sebagai debitur yang baik di pasar modal sangat penting untuk menjamin masuknya dana segar.

Negara yang tidak dapat memperoleh pasokan dana, akan membuat situasi dalam negeri Negara tersebut akan memburuk. Negara tidak bisa berinvestasi dan harus terus-menerus membatasi pengeluaran untuk sektor-sektor yang masih mungkin dikurangi anggaran belanjanya. Jika hal ini terjadi, maka semakin sedikit yang dilakukan di sektor-sektor tersebut, semakin berkuranglah kesempatan bagi negara itu untuk membebaskan diri dari krisis dengan kekuatannya sendiri. Sehingga status Negara tersebut sebagai debitur yang baik gagal, yang berakibat pula dengan bertambahnya bunga untuk hutang yang ada. Semakin banyak uang yang harus dikeluarkan negara untuk membayar hutang yang lama, semakin sedikit kebebasannya untuk bergerak sesuai keinginan sendiri.

Sebuah fenomena yang mengerikan bukan? Saya coba memberikan ilustrasi sederhana, mengapa sebuah Negara sampai bangkrut. Begini:

Di suatu daerah, tentu masyarakatnya mempunyai produk dan jasa yang biasa mereka pertukarkan untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya; A aktivitas hidupnya menanam padi, B hidup sebagai nelayan, C membuat becak sebagai sarana transportasi, dan D menyediakan tenaganya katakanlah sebagai pengayuh becak, demikian seterusnya.

Selama bertahun-tahun, kehidupan mereka sehari-hari berdagang dengan cara saling menukarkan produk dan jasanya diantara mereka dalam jumlah yang menurut mereka nilainya setara atau biasa kita kenal dengan istilah barter.

Pada suatu ketika, tanaman padi si A gagal panen, karena terserang wabah, yang mengakibatkan A tidak mempunyai padi untuk ditukarkan dengan barang/jasa milik B, C dan D. Mengingat hubungan yang baik dan A dinilai memiliki prilaku yang baik pula selama ini, maka B, C dan D tetap memberikan hutang kepada A.

Kesediaan mereka memberikan bantuan kepada A dengan catatan A harus menulis selembar “surat hutang” kepada teman-temannya yang telah memberikan pinjaman produk dan jasanya kepada A dalam jumlah tertentu. Dengan cara penerbitan “surat hutang” tersebut mereka semuanya puas; A tetap dapat mempertahankan hidup keluarganya berkat hutang yang diterimanya, dan si pemberi hutang tetap bisa menjual hasil produksi dan jasanya dengan memegang “surat hutang” A sebagai jaminan, bahwa kelak akan dibayarkan dengan padi pada musim panen berikutnya.

Namun sial bagi A, karena pada panen yang telah dinanti-nantikan, ia mengalami gagal panen lagi karena tanaman padinya kembali terserang hama. Dengan kejadian tersebut, membuat A harus menulis lagi “surat hutang” kepada para teman-temannya untuk tetap dapat memperoleh ikan, jasa transportasi dan produk lainnya. Kejadian tersebut membuat pemberi hutang kurang senang, namun karena hubungan yang baik menjadi pertimbangan mereka untuk tetap memberikan pinjaman.

Dalam perkembangannya, surat hutang yang ditulis A diperdagangkan antara B,C dan D untuk saling bertukar produk & jasa masing-masing. Melihat hal tersebut, A merasa bahwa “surat hutang” yang ditulisnya “dipercaya” orang dan dapat bertahan selamanya, sehingga ia berkesimpulan bahwa hal tersebut adalah strategi yang layak ia lakukan. Maka, A mulai tidak peduli dengan tanaman padinya. Ia menghabiskan waktunya untuk menikmati hidup; pola hidupnya berubah dengan berfoya-foya. Apabila musim panen tiba, A tinggal menulis “surat hutang” baru kepada masing-masing teman-temannya, begitulah seterusnya.

Melihat tindakan A tersebut; B, C dan D merasa ada yang tidak beres, lalu mereka melakukan penyelidikan ke sawah A. Dan, terkejutlah mereka, sebab ternyata selama ini A tidak menanam bibit padi lagi. Maka, sesungguhnya A tidak lagi memiliki kemampuan membayar hutang-hutangnya, karena A sudah tidak mempunyai kapasitas produksi yang cukup. Mereka baru sadar, bahwa penjualan yang dilakukan kepada A selama ini hanyalah ilusi alias abal-abal (imajiner) semata. Sehingga mereka tidak akan memperoleh kembali nilai barang dari A yang selama ini mereka pinjamkan kepada A.

Kisah diatas adalah cerita dasar, masih bisa berkembang dengan berbagai macam varian menurut kreativitas pelakunya untuk mengekspresikannya.

Sebuah negara pada dasarnya sama dengan sebuah keluarga, sama juga dengan seorang individu seperti dalam cerita diatas. Yang harus dilakukan oleh sebuah negara, keluarga ataupun individu adalah berupaya agar uang masuk lebih besar daripada uang keluar. Jangan dibalik menjadi besar pasak daripada tiang.

Mari kita lihat negara kita tercinta sebagai contoh. Hutang luar negeri pemerintah Indonesia saat ini mencapai Rp 600.000.000.000.000,- jumlah tersebut merupakan akumulasi sejak lebih dari 30 tahun lalu. Jumlah tersebut masih harus ditambah lagi dengan Surat Hutang Negara (SUN) sebesar Rp 800.000.000.000.000,- yang merupakan produk baru yang diciptakan sejak 7 tahun lalu (perhatikan, ternyata hutang 7 tahun tersebut sudah lebih besar dari hutang luar negeri). Sehingga, jika dijumlahkan hutang pemerintah kita besarnya adalah 1.400 trilyun rupiah. Angka tersebut masih akan terus bertambah dari bulan ke bulan, karena bunga yang harus dibayar.

Lantas, bagaimana pemerintah suatu negara bisa melunasi hutang-hutangnya?

Cara sederhananya adalah yang pertama Pemerintah harus membayar hutang. Indonesia pada Oktober 2006 lalu telah melunasi hutang ke IMF dalam dua kali pembayaran, atau secara total mencapai sekitar US$ 7 miliar. Namun, Indonesia masih tercatat memiliki hutang juga ke Paris Club, dimana sekitar US$ 3 miliar akan jatuh tempo 2010 dengan masa tenggang 1 tahun. Hutang ke Paris Club ini sedianya jatuh tempo 2005, namun Indonesia mendapatkan moratorium berupa penangguhan hutang selama 5 tahun menyusul terjadinya tsunami di Aceh. Dan yang kedua adalah Pemerintah harus mempertahankan aset negara, dan memonopoli bisnis-bisnis yang menguntungkan dengan mengelolanya secara profesional agar penerimaan negara bisa diamankan dan terus bertambah. Bukannya berlomba-lomba menjual BUMN dengan mengatasnamakan privatisasi. Hal ini sangat membahayakan, karena jika tanah, sumber daya alam dan BUMN sudah habis di lego, lalu bagaimana pemerintah menutupi penerimaan pada anggaran belanja negara? Apakah harus menaikkan pajak kepada rakyat?

Mengapa Argentina default? Semoga ilustrasi diatas bisa sedikit memberikan gambaran apa yang (kira-kira) sedang terjadi di negeri Diego Maradona itu.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Dalam ilustrasi anda (A,B,C,D)...
bagaimana kalo A sengaja di bikin
bangkrut oleh B,C, atau D ?.

Sehingga jika A bangrut maka B,C, dan D bisa memiliki aset-aset si A ini dengan dalih membayar hutang?.

dan alasan si A kepada keluarganya adalah privatisasi.

Padahal A terpaksa melakukan privatisasi dikarenakan syarat (Denda tdk bisa bayar hutang) dari B,C dan D.

Hal yg lebih buruk lagi B, C dan D memang mengincar aset-aset A tersebut dari awal sehingga dibuatlah scenario agar A berhutang.

CV Hanindo mengatakan...

Ilustrasi tersebut dilihat dari satu sisi skenario pola pikir yang sederhana. Jadi, bisa saja "A" dibuat bangkrut oleh B,C & D untuk kepentingan mereka. Terima kasih sudah mampir. Salam hangat!